Boleh Dibaca, Boleh Tidak

Perihal kehilangan, rasanya terbiasa.

Perihal pertemuan, aku mensyukurinya.

Perihal kecewa, aku tahan dengan tawa.

Perihal tawa, bisa palsu atau nyata.

Perihal rindu, ku pendam saja dalam-dalam.

Perihal ditinggalkan, aku hanya bisa mengikhlaskan.

Perihal meninggalkan, aku terpaksa melakukannya.

Perihal kesendirian, aku selalu berjuang dengan itu.

Perihal kebersamaan, aku menikmatinya.

Perihal menunggu, kebiasaanku.

Perihal bahagia, aku sederhana.

Perihal cinta, aku buta.

Perihal luka, aku babak belur.

Perihal duka, aku akrab dengannya.

Perihal rasa, mungkin sudah tidak ada.

Perihal sepi, mau bagaimana lagi.

Perihal air mata, sudah jadi teman setia.

Perihal dipandang sebelah mata, aku tau rasanya.

Perihal dibanding-bandingkan, sudah pasti pernah.

Perihal jatuh, ya berdiri lagi.

Perihal ekspektasi, kini telah ku buang jauh-jauh.

Perihal diremehkan, akan aku buktikan.

 


Orang-orang mungkin sudah lupa hal-hal yang mendasar dan lebih tertarik dengan trend masa kini, yang entah itu positif atau negatif. Aku tidak menyalahkan. Aku hanya sedih dan khawatir dengan feromena-fenomena yang terjadi saat ini. Aku sendiri juga merasakan dampaknya. Aku berharap tulisan ini dapat mengetuk hati yang membacanya.

Apakah sulit untuk menepati janji? Lalu mengapa semudah itu mengucap janji?

Mau jadi bertemu ataupun tidak, apakah terasa berat untuk tetap mengabari?

Apakah kesibukan pantas dijadikan alasan untuk melupakan sahabat atau teman? Apakah perasaan mereka tidak penting lagi? Apakah tidak butuh mereka lagi?

Apakah untuk datang tepat waktu begitu sulit? Apakah perasaan orang yang menunggu tidak berarti?  

Saat sedang mengobrol dengan lawan bicara, apakah seberat itu untuk menyimpan handphone?

Jika meminta bantuan, apakah bertatakrama terasa berat? Apakah yang dimintai bantuan tidak merasa jengkel?

Jika telah diberi bantuan, mengapa malah jadi seenaknya? Apakah sesulit itu untuk berterima kasih?

Saat melakukan kesalahan, apakah seberat itu untuk meminta maaf? 

Apakah karena satu kesalahan, seribu kebaikan hilang begitu saja?

Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan, sulitkah?

Sayang sekali, adab perlahan sirna.

Pertanyaan-pertanyaan di atas butuh jawaban dari hatimu..

 


Aku pun ingin egois, tapi aku takut besok hari terakhirku di bumi.

Aku pun ingin membalas hal buruk, tapi aku takut Tuhan membalas lebih dari itu.

Aku pun ingin marah, tapi aku takut menyakiti.

Aku pun ingin pergi, tapi aku takut tak menemukan rumah.

Aku pun ingin berpaling, tapi aku takut menyesal di kemudian hari.

Aku pun ingin berharap, tapi aku takut kecewa.

Aku pun ingin berbicara, tapi aku takut tidak didengar.

Aku ingin jadi bermakna. Aku tidak boleh takut.

 

Terima kasih untukmu yang menyempatkan waktu untuk membaca tulisan ini sampai akhir. Semoga ada hal-hal baik yang dapat diambil dan semoga bahagia!

Comments